Mengenang Wittgenstein Lewat Tractacus: Peran Bahasa dan Kecakapan Literasi

Mengenang Wittgenstein Lewat Tractacus: Peran Bahasa dan Kecakapan Literasi

Ada seorang filsuf yang begitu berkesan dan merupakan salah satu yang banyak berpengaruh dalam menuntun saya mengembangkan kecakapan literasi dengan serius; Ludwig Wittgenstein. Filsuf, yang gaya tulisannya lumayan nyentrik ini, menawarkan pengalaman berbeda ketika saya melakukan suatu pembacaan. Catatan berikut ini mengalir begitu saja ketika mengingat kenangan membahas salah satu karya fenomenalnya bersama kawan-kawan semasa kuliah. Catatan lumayan panjang untuk ukurannya. Namun demikian, belum seberapa dengan panjangnya bahasan mengenai Wittgenstein dan karya-karyanya.

Wittgenstein dikenal sebagai filsuf yang memberi perhatian khusus terhadap bahasa dalam menjelaskan dan mengungkapkan masalah-masalah filosofis. Menjalani karir sebagai filsuf, ia salah satu yang terbilang unik. Sepanjang hidupnya Wittgenstein menyelesaikan dua karya besar filsafat yang saling bertentangan; Tractatus Logico-Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953).

Dalam Tractacus, Wittgenstein muda meletakkan dasar pemikirannya pada kekeliruan para filsuf pendahulunya dalam memandang dan menjelaskan masalah-masalah filosofis. Ia menganggap filsafat sejatinya merupakan kegiatan berpikir yang tujuannya mengurai proposisi-proposisi masalah filosofis. Bukannya menjadi doktrin seperti yang selama ini telah salah dipahami oleh para pendahulunya. Filsafat merupakan cerminan dunia namun para filsuf tak dapat mengartikulasikannya. Menurutnya, esensi dari dunia dan pemikiran kita hanya dapat ditunjukkan tanpa bisa diucapkan.

Credit: vwalakte via Freepik.com

Atas dasar ini, Wittgenstein lewat Tractacus mengkritik para pendahulunya dengan menitik-beratkan analisis bahasa yang merupakan sarana utama untuk menyampaikan pandangan-pandangan filsafat. Ia menilai apa yang dilakukan para filsuf selama ini bukannya keliru namun hanya kurang memberi perhatian pada bahasa sehingga menjadikan masalah-masalah filsafat menjadi sukar dipahami.

Persoalan filsafat adalah persoalan bahasa dan untuk itu diperlukan cara berpikir yang bersandar pada logika bahasa. Jika dulu Immanuel Kant menjelaskan bahwa sebelum kita memahami dunia maka kita terlebih dahulu harus memahami kemampuan persepsi dan proses pengetahuan yang kita lalui, Wittgenstein malah mundur sedikit ke belakang dengan mendalami bahasa karena dengan demikian gambaran akurat mengenai dunia akan dengan jelas diperoleh.

Dalam Tractacus-lah Wittgenstein mengemukakan filsafat atomisme logis sejalan dengan senior yang tak lain adalah dosennya, Bertrand Russell. Ia memenuhi Tractacus dengan uraian-uraian singkat proposisi-proposisi pemikiran filosofisnya. Uraian-uraian singkat ini merupakan analisis tentang ungkapan-ungkapan —demikian juga realitas— dengan bahasa yang berstruktur logis. Peran Tractacus begitu signifikan sehingga karya ini dianggap mempelopori ‘linguistic turn‘ atau periode di mana bahasa didaulat sebagai titik mula dalam berfilsafat.Â

Image by freepik

Ada beberapa asalan yang bisa menjadi acuan klaim tersebut. Pertama, karya ini dianggap menentukan batas-batas pemikiran dengan menentukan batas-batas bahasa: yakni, dengan menjabarkan batas-batas antara pengertian dan omong kosong. Karya ini menempatkan bahasa –bentuk dan strukturnya– sebagai pusat penyelidikan filsafat. Kedua, tugas positif filsafat masa depan adalah analisis logika linguistik atas kalimat. Penjelasan logis atas pemikiran dilakukan dengan penjelasan atas proposisi-proposisi (kalimat-kalimat yang mengandung pengertian).

Ketiga, tugas negatif filsafat masa depan adalah memperlihatkan ketidak-absahan pernyataan-pernyataan metafisis dengan menjelaskan apa yang dicakup oleh bahasa baik melampaui atau melanggar batas-batas pengertian yang ada. Keempat, Tractatus berusaha menjelaskan watak dasar tanda proposisi dengan menguraikan bentuk proposisi umum, yakni dengan memberi “suatu deskripsi atas proposisi-proposisi tanda-bahasa apa pun dengan sedemikian rupa sehingga setiap pengertian yang mungkin bisa diungkapkan oleh suatu simbol sesuai dengan deskripsi tersebut.” Selanjutnya, setiap simbol yang sesuai dengan deskripsi tersebut dapat mengungkapkan suatu pengertian dengan catatan bahwa makna nama-namanya dipilih dengan tepat.

Kelima, penyelidikan logis atas fenomena, termasuk penyingkapan bentuk-bentuk logisnya, yang belum diusahakan di dalam karya ini, ke depannya akan dilakukan dengan analisis logis melalui deskripsi linguistik terhadap fenomena tersebut (langkah ini dimulai oleh Wittgenstein pada tahun 1929 melalui “Some Remaks on Logical Form” namun proyek ini tidak pernah terselesaikan). Karena sintaksis logis bahasa pasti dan harus, isomorfis (istilah yang dipakai Wittgenstein) atau sepadan dengan bentuk-bentuk logika metafisik dunia. Keenam, pencapaian terbesar karya ini, sebagaimana dinyatakan oleh komunitas Lingkaran Wina, adalah penjabarannya atas watak keniscayaan logis. Hal ini dilakukan dengan suatu penyelidikan atas simbolisme. Bahwa pernyataan “seseorang dapat mengenali kebenaran suatu proposisi logis hanya dari simbol” dianggap merupakan inti dari pandangan filsafat logika.

Tractatus Logico-Philosophicus adalah karya Wittgenstein pertama dan satu-satunya dalam bentuk buku yang ia terbitkan selama masa hidupnya (1889-1951). Karya ini ia tulis saat ia menjadi tahanan perang selama Perang Dunia I. Karya ini pertama kali diterbitkan di Jerman pada 1921 dengan judul asli Logisch-Philosophische Abhandlung. Buku ini –terutama dalam hal anggapannya bahwa pernyataan metafisik dan etis adalah pernyataan-pernyataan yang tidak bermakna– dianggap sangat berpengaruh di kalangan para penganut mazhab positivis logis dari komunitas Lingkaran Wina. Secara keseluruhan, ada 7 tesis utama yang dikemukakan Wittgenstein dalam bukunya ini:

  1. Dunia adalah segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the case)
  2. Apa yang demikian adanya–suatu fakta–adalah eksistensi duduk-perkara (What is the case–a fact–is the existence of states of affairs)
  3. Suatu gambaran logis fakta-fakta adalah suatu pemikiran (A logical picture of facts is a thought).
  4. Suatu pemikiran adalah suatu proposisi dengan pengertian (A thought is a proposition with a sense).
  5. Suatu proposisi adalah suatu fungsi-kebenaran dari proposisi-proposisi dasar (A proposition is a truth-function of elementary propositions).
  6. Bentuk umum dari suatu fungsi-kebenaran adalah [`p, `, N(`)]. Inilah bentuk umum dari suatu proposisi. (The general form of a truth-function is [`p, `, N(`)]. This is the general form of a proposition)
  7. Apa yang tidak dapat kita bicarakan, sepantasnya kita membiarkannya dalam diam. (What we cannot speak about we must pass over in silence).
Image by freepik

Disusun dalam gaya bahasa yang ketat dan padat, dan ditata berdasarkan sistem penomoran yang dipinjam dari Principia Mathematica milik Sir Isaac Newton, karya ini juga bermaksud menunjukkan bahwa filsafat tradisional bersandar pada kesalahpahaman radikal atas “logika bahasa.” Dengan mengikuti jejak Gottlob Frege dan Bertrand Russell, Wittgenstein menyatakan bahwa setiap kalimat yang bermakna harus memiliki struktur logis yang tepat, yang umumnya tersembunyi di balik selubung tampilan gramatik kalimat tersebut, dan karena itu memerlukan analisis logis yang panjang lebar agar menjadi jelas.

Wittgenstein meyakini bahwa analisis tersebut akan membuktikan bahwa setiap kalimat yang bermakna adalah atau suatu susunan fungsi-kebenaran dari kalimat-kalimat lain yang lebih sederhana, atau suatu kalimat atomik yang terdiri dari rangkaian nama sederhana. Karena itu, Wittgenstein menyatakan bahwa setiap kalimat atomik adalah suatu gambaran logis dari suatu duduk perkara yang harus memiliki struktur formal tepat seperti kalimat atomik yang menggambarkannya.

Wittgenstein menggunakan doktrin “logical picture of thought” ini untuk mendapatkan simpulan-simpulan tentang dunia dari pengamatannya tentang struktur kalimat-kalimat atomik. Ia secara khusus mempostulatkan bahwa dunia pada dirinya sendiri harus memiliki suatu struktur logis yang tertentu meskipun kita mungkin tidak akan mampu menentukan struktur itu sepenuhnya. Ia juga beranggapan bahwa dunia ini terdiri dari fakta-fakta yang sesuai dengan kalimat-kalimat atomik yang benar. Selanjutnya bahwa fakta-fakta tersebut, pada gilirannya, merupakan rangkaian obyek-obyek sederhana yang sesuai dengan nama-nama yang menyusun kalimat-kalimat atomik itu.

Wittgenstein percaya bahwa peran fundamental kata-kata adalah untuk menamai entitas-entitas (meskipun peran ini disangkal dalam hal operasi logis dan ekspresi kategoris) dan fungsi kalimat untuk menggambarkan bagaimana hal-ihwal dalam realitas. Ia beranggapan bahwa pasti ada suatu keterkaitan makna antara kata-kata dan entitas-entitas yang mereka namai. Bahwa cara bahasa memeroleh isi adalah dengan keterkaitan dengan realitas tersebut. Ia pun beranggapan bahwa bahasa sehari-hari ada dalam tatanan logis yang baik. Sebab logika adalah suatu kondisi pengertian.

Selama kalimat dalam bahasa sehari-hari mengungkapkan pengertian atau menjelaskan isi pikiran, kalimat tersebut berada dalam kategori baik. Ketika kalimat dalam bahasa sehari-hari tersebut gagal mengungkapkan suatu pengertian maka kalimat itu dianggap tidak memiliki klasifikasi untuk disebut sebagai kalimat yang sesungguhnya. Wittgenstein memandang kalimat sebagai ekspresi pikiran. Namun pikiran itu sendiri adalah suatu ungkapan bahasa yang terdiri dari unsur-unsur penalaran. Bentuk sebuah pikiran harus mencerminkan realitas yang dirujuknya untuk dituangkan ke dalam sebuah proposisi (kalimat yang mengandung pengertian).Â

Image by Freepik

Fungsi dasar bahasa adalah mengomunikasikan pemikiran dengan memberinya ungkapan dalam bentuk yang tampak dan jelas. Peran proposisi adalah menggambarkan peristiwa (state of affairs) yang mungkin sesuai atau mungkin tidak. Jika duduk-perkara yang digambarkan oleh sebuah proposisi sesuai maka proposisi itu dinyatakan benar namun jika tidak maka harus dinyatakan salah. Sebagai simpulan, Wittgenstein dalam Tractacus, seperti yang telah disinggung sebelumnya, menetapkan bagian paling penting dari karyanya tersebut ada pada simpulan-simpulan negatif tentang filsafat yang dikemukakan pada bagian akhir karyanya itu.Â

Di bagian itu, ia mengemukakan bahwa semua kalimat yang bukan gambaran atomik dari rangkaian obyek atau gabungan fungsi-kebenaran (truth-functional) dapat dipastikan tak bermakna. Skenario itu bisa menimpa proposisi-proposisi mengenai etika serta estetika, semua proposisi yang berkenaan dengan makna hidup, semua proposisi logika, bahkan semua proposisi filosofis, dan tentunya semua proposisi yang ada dalam Tractatus itu sendiri.

Terakhir, sejujurnya sampai saat ini pun, saya masih merasa sulit memahami karya Wittgenstein ini dengan hanya berbekal pembacaan mandiri belaka. Namun yang pasti, Wittgenstein telah menemani saya larut dalam perenungan akan hal-hal yang bersifat etis, estetis, dan metafisis, bisa jadi bukanlah bagian dari (fakta) dunia seperti dalam tesisnya, “Dunia adalah segala sesuatu yang demikian adanya (The world is all that is the case).” Apa yang kita anggap etis, estetis, dan metafisis sering kali sesempit tafsiran kita terhadap fakta, terhadap sesuatu yang seharunya demikian adanya (what is the case). Celakanya, sebagai suatu tafsiran, hal ini tentu akan selalu berbeda dari masa ke masa, dari satu orang ke orang yang lain, dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dan karena perbedaan radikal yang mungkin dimungkinkan dari tafsiran tiap-tiap orang terhadap fakta dunia, terhadap “what is the case” maka kita tidak perlu ribut dalam memaknai perbedaan.

Image by vecstock

Jangan terlarut dalam sesuatu yang sebenarnya kita tidak pahami dengan baik. Apalagi memainkan euforia publik sehingga mencelakai saudara kita sendiri. Belajarlah untuk menahan diri tidak mengomentari sesuatu yang tidak anda pahami seutuhnya atau malah anda tidak tidak punya kepentingan atasnya.              Wittgenstein memperingatkan bahwa bahasa yang kita gunakan adalah cerminan dari isi kepala kita. Jangan sampai borok sesat pikir kita berakhir tontotan publik secara luas. “Apa yang tidak dapat kita bicarakan, sepantasnya kita membiarkannya dalam diam (What we cannot speak about we must pass over in silence)”, demikian sabda Wittgenstein yang patut kita renungkan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *